Titik Kumpul Techno – Monosodium glutamat (MSG) atau lebih dikenal dengan mycin telah lama menjadi bahan kontroversial di dunia makanan.
Selama lebih dari setengah abad, mycin sering disalahkan karena menyebabkan beragam gejala seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, kemerahan, dan refluks asam.
Namun, apakah micin benar-benar berbahaya atau ada cerita lain di baliknya? Mycin adalah garam natrium dari asam glutamat, asam amino yang ditemukan secara alami dalam tubuh manusia dan dalam berbagai makanan.
Meskipun ada kata “glutamat” pada namanya, namun tidak mengandung gluten. Mycin telah digunakan sebagai penambah rasa pada berbagai makanan, terutama masakan Asia, sejak awal abad ke-20.
Micin dianggap aman untuk dikonsumsi oleh FDA, Live Science melaporkan.
Pada tahun 1995, FDA melakukan penelitian yang menegaskan bahwa mycin aman, meskipun ada laporan gejala ringan jangka pendek seperti sakit kepala, wajah memerah, atau kantuk ketika individu yang sensitif menelan minuman mycin dalam jumlah besar (lebih dari 3 gram). tanpa makanan. . .
Sebagai perbandingan, satu porsi makanan yang mengandung mycin biasanya mengandung kurang dari 0,5 gram. Ketakutan terhadap musin dimulai pada tahun 1968 ketika seorang dokter bernama Robert Ho Man Kwok menulis surat di New England Journal of Medicine.
Dalam surat tersebut, ia menggambarkan gejala seperti pusing, lemas, dan detak jantung cepat setelah makan makanan dari Tiongkok utara, yang dikenal sebagai “sindrom restoran Tiongkok”. Kwok menyebutkan tiga kemungkinan penyebabnya: garam, anggur masak, atau cuka.
Setelah surat tersebut, beberapa laporan dan penelitian yang belum dikonfirmasi memperkuat ketakutan ini.
Media juga memperburuk situasi dengan menerbitkan artikel-artikel yang mengkhawatirkan tentang mycin, meskipun banyak dari penelitian ini dilakukan dengan metode yang tidak memadai.
Beberapa penelitian pertama yang menghubungkan mycin dengan masalah kesehatan ternyata memiliki kelemahan.
Misalnya, dalam penelitian yang tidak terkontrol, peneliti memberikan sup pangsit yang mengandung tembaga kepada sukarelawan yang sebelumnya melaporkan reaksi buruk terhadap makanan Cina, sehingga hasilnya dapat diprediksi.
Pada penelitian lain pada tikus, mycin diberikan dalam dosis yang sangat tinggi dan dengan cara yang tidak seperti konsumsi manusia, yakni melalui suntikan di bawah kulit.
Meskipun banyak penelitian menunjukkan bahwa mycin aman, persepsi umum telah terbentuk.
Belakangan, restoran-restoran Tiongkok mulai memasang tanda “Tanpa MSG” di jendela mereka, dan produsen makanan menambahkan label yang sama pada kemasan produk mereka.
Faktanya, hingga saat ini ulasan di situs seperti Yelp masih sering menggambarkan gejala akibat micin, meski fenomena tersebut sudah lama terbantahkan.
Stigma terhadap mycin dan makanan Cina juga melibatkan efek “nocebo”, yaitu ekspektasi atau keyakinan negatif terhadap suatu zat menyebabkan gejala yang tidak menyenangkan, meskipun tidak ada penyebab fisiologisnya.
Orang mungkin mengalami reaksi nyata, seperti sakit kepala atau pusing, hanya karena mereka diberi tahu bahwa mereka mungkin mengalaminya.
Menurut bukti ilmiah, mycin tidak seberbahaya yang sering digambarkan. Mycin dapat menyebabkan sakit kepala pada sebagian orang, begitu pula bahan makanan lain seperti alkohol, susu, atau telur.
Bagi kebanyakan orang, mika aman dikonsumsi dalam jumlah wajar. Kita harus mengandalkan bukti ilmiah terkini dan tidak terjebak dalam stigma atau informasi yang salah.