Prof Tjandra: Ramai Kasus Depresi di Kalangan PPDS, Ini 5 Rekomendasi Tindak Lanjut Perlu Dilakukan

JAKARTA – Masyarakat belakangan ini dihebohkan dengan kondisi kesehatan mental para calon dokter yang menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis atau dikenal dengan PPDS. Berdasarkan data analisis kesehatan jiwa calon dokter spesialis di 28 rumah sakit pendidikan vertikal terhadap 12.121 PPDS, diketahui sebanyak 2.716 calon dokter spesialis terdiagnosis depresi.

Dari 2.716 calon dokter yang didiagnosis depresi, 1.977 di antaranya mengalami gejala ringan. Sebanyak 486 calon dokter mengalami depresi sedang, 178 calon dokter mengalami depresi sedang dan berat. 75 calon dokter spesialis ditemukan mengalami depresi berat.

Diketahui, jumlah kasus depresi pada PPDS Indonesia lebih rendah dibandingkan jumlah kasus depresi pada PPDS luar negeri. Depresi PPDS di luar negeri lebih tinggi, rata-rata 28,8 persen, dengan kisaran 20,9 persen hingga 43,2 persen, berdasarkan berbagai survei PPDS di berbagai negara di luar negeri.

Lalu apa langkah selanjutnya yang harus diambil sehubungan dengan temuan ini? Direktur Pascasarjana Universitas IARSI, Prof. Tjandra Yoga Aditama mengungkapkan, setidaknya ada lima tindakan lanjutan yang harus dilakukan Kementerian Kesehatan.

Pertama, Prof. Tjandra mengatakan, sebagaimana disampaikan sebelumnya, untuk lebih menjelaskan hal tersebut, perlu dikaji penggunaan metode serupa untuk berbagai jenis program pendidikan yang ada, serta untuk masyarakat umum.

“Ini adalah tindak lanjut pertama yang harus dilakukan.” Apalagi akhir-akhir ini sedang ramai dibicarakan peningkatan angka depresi di negara kita, tapi juga di dunia,” ujarnya dalam pesan singkatnya, Selasa, 16 April 2024.

Kedua, perlu diingat bahwa penelitian Kementerian Kesehatan ini didasarkan pada metode skrining massal yang tentunya harus dibuktikan dengan diagnosis yang akurat. Caranya antara lain berdasarkan gejala dan penilaian psikologis seperti: mood, nafsu makan, pola tidur, tingkat aktivitas mental untuk menghindari kemungkinan penyakit lain, tenaga medis juga dapat melakukan pemeriksaan fisik dan melakukan tes darah, dll.

Ketiga, prinsip dasar ilmu kedokteran adalah pengobatan berdasarkan diagnosis yang jelas. Jadi jika ada depresi pada PPDS (atau siapapun), sebaiknya didiagnosis oleh ahlinya, yaitu psikiater, atau mungkin psikolog atau bahkan mungkin dokter dan ahli kesehatan lain yang berkompeten.

“Jadi tidak hanya berdasarkan jawaban pertanyaan penyaringan massal saja, perlu pengkajian lebih detail.” “Karena PPDS berada di Rumah Sakit Vertikal Kementerian Kesehatan, maka RS2 tentunya memiliki layanan kesehatan jiwa yang lengkap sehingga dapat ditegakkan diagnosis yang akurat sesuai kaidah ilmu pengetahuan yang baik,” jelasnya.

Keempat, kata Prof. Tjandra, jika memang ada gangguan depresi dengan derajat yang berbeda-beda, maka ahli kesehatan mental sudah sangat menguasai cara mengobatinya.

“Ingat, gangguan kesehatan mental secara umum tersebar luas dan mempunyai banyak pasien (dengan derajat yang berbeda-beda tentunya). “Tepatnya, kalau ada depresi, dan sebagainya. di PPDS dan juga di masyarakat luas, berkonsultasilah dengan petugas kesehatan jiwa yang bersangkutan (yang juga pernah menjadi PPDS),” ujarnya.

Kelima, selain itu, pemerintah juga harus memberikan fasilitas dan kenyamanan agar para PPDS dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik.

Ingat, dokter dan dokter spesialis sangat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan kita, ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *