Puluhan Tokoh Lintas Agama Buka Puasa Bareng

VIVA – Majelis Hukama Muslim (MHM) cabang Indonesia menggelar futar yang melibatkan berbagai agama. Acara ini mengusung tema ‘Bhineka Rasa, Satu Persaudaraan’.

Salah satu pendiri dan anggota MHM Prof. Dr. M Quraish Shihab, M.Ag, Menteri Agama 2014 – 2019, Dr. (HC) Luqman Hakim Saifuddin, Anggota Pengurus MHM Dr. TGB M.Sc. Zainul Majdi, perwakilan Kedutaan Besar Mesir dan Malaysia, Staf Profesional Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Adlin Silla, bersama puluhan tokoh Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan agama.

Dan perwakilan dari kantor pusat MKM, Dr. Omar Obeidat (Direktur Kantor MKM di Luar Negeri) dan Said Khattab, M.Sc. (Koordinator Cabang Kantor MKM di Luar Negeri).

Acara diawali dengan pembacaan doa bersama oleh perwakilan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu dan umat beriman. Semua pembaca aplikasi ini adalah wanita. Mereka mendorong harapan akan persaudaraan dan toleransi beragama di Indonesia. Tak lupa juga menjadi doa bagi kemajuan bangsa dan negara.

“Hari ini kita duduk satu meja dari agama dan keyakinan yang berbeda, kita satu kedudukan di hadapan Allah, atas nama MKM, kami mengucapkan terima kasih kepada semuanya atas kehadirannya dalam memecahkan statistik aliran yang berbeda-beda,” jelasnya. Direktur MHM Cabang Indonesia Muhlis M Hanafi saat memberikan sambutan di Jakarta, Kamis 21 Maret 2024.

Mengutip Imam Ali, Mukhlis M Hanafi berkata: “Ada orang yang bersaudara seagama dan ada yang tidak seagama, ada yang sederajat kemanusiaannya.”

MHM adalah organisasi independen lintas batas yang didirikan pada tahun 2014 oleh sejumlah pemuka agama, tokoh dan cendekiawan dari berbagai agama. Organisasi ini bertujuan untuk memperkuat dan mengembangkan budaya perdamaian, toleransi, hidup berdampingan dan persaudaraan umat manusia.

Dalam 10 tahun, kata Muhlis, berbagai inisiatif dicanangkan MHM. Berbagai acara digelar. Berbagai peristiwa, mulai dari Islam, terorisme, perubahan iklim, menarik perhatian MKM. Puncaknya, dirilis dokumen bersejarah persaudaraan umat manusia yang ditandatangani oleh Grand Sheikh Al Azhar dan Paus Fransiskus pada 4 Februari 2019.

“Sebuah dokumen yang menggambarkan nilai-nilai kemanusiaan yang ingin mengajak masyarakat dunia untuk mengembangkan budaya damai dan harmoni dalam keberagaman,” jelasnya.

“Dokumen ini diterima dengan baik oleh para pemimpin agama dunia. Pada tahun 2020, PBB menetapkan tanggal 4 Februari sebagai Hari Persaudaraan Manusia Sedunia,” lanjutnya.

Mewakili Kementerian Agama, Direktur Urusan Agama Islam dan Pengembangan Syariah, Dr. Adib, M.Ag bersyukur dan bersyukur telah terjalinnya program dan kegiatan MKM yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia. Kemenag, kata Adib, sudah beberapa kali menjalin kerja sama dengan MKM. Misalnya saja postingan seruan khutbah Jumat bertemakan persaudaraan antarmanusia. Selain itu juga diadakan lomba penulisan naskah khutbah Jumat dengan tema yang sama.

“Ini adalah program yang luar biasa. Kami berharap sinergi ini terus meningkat dan meluas,” tegasnya. “Dampak positif dari rencana MHM untuk menghadirkan lebih banyak perdamaian dan keharmonisan dunia dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia,” lanjutnya.

Emosi Ramadhan

Buka puasa bersama kali ini juga diisi dengan berbagi perasaan dan pengalaman seputar Ramadhan. Dipimpin Staf Khusus Presiden Bidang Sosial Ayu Kartika Devi, ada tujuh tokoh agama yang diberi kesempatan berbagi pandangan dan pengalaman.

Sekretaris Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Pdt. Jacklevin Manuputti mendapat barisan depan. Ia menikmati puasa giat bersama ‘Bhineka Rasa, Satu Persaudaraan’.

“Kegiatan ini menyentuh perasaan kemanusiaan yang paling mendasar. Dan saya merasa diberkati,” katanya.

St. Jacklewyn Manuputti kemudian berbagi cerita tentang konflik di Maluku. Kemudian Ramadhan menjadi masa tenang yang dijadikan ajang “pertemuan” untuk mencari solusi.

“Suatu hari di bulan Ramadhan, kami menelpon teman Muslim kami yang biasa disapa Pak Haji. Saya ingin berpuasa di sana, bukan? Apakah tidak apa-apa? Meski situasinya masih rapuh,” kenangnya.

“Sesampainya di sana, Bu Haji sudah menyiapkan makanan di meja, setelah salat semuanya duduk di meja, sebelum saya makan, Pak Haji mengingatkan saya untuk salat, lalu kami berbuka bersama pada jam 1 siang. ” satu meja. Ini menjadi kenangan kolektif yang indah,” ujarnya.

Nina Rustina, Wakil Presiden Departemen Kebudayaan dan Adat Indonesia Puan Hayati, juga berpendapat demikian. Baginya, Ramadhan adalah saat yang tepat untuk berbagi dan menguatkan kesabaran.

“Saya seorang ibu. Setiap Ramadhan menyenangkan. Para ibu bisa berkreasi membuat tekjeel yang paling lucu untuk keluarga. “Ramadhan adalah bulan kesabaran yang nyata bagi umat Islam,” ujarnya.

Perwakilan Konghucu Wandi Suvardi berbicara tentang pengalamannya hidup dalam masyarakat Islam. Dia tidak merasa sendirian. “Ramadhan penuh berkah. Bergabunglah dengan kami untuk camilan tengah hari. Kita bangun pagi untuk sahur,” ungkapnya.

Sekretaris Komite Hubungan Antaragama dan Keagamaan pada Konferensi Waligereja Gereja Indonesia (KWI) Rm. Agustinus Heri Vibovo, merasakan Ramadhan penuh dengan pengalaman persatuan dan kegembiraan.

“Kami merayakannya tidak hanya sebagai hari raya umat Islam, tapi juga sebagai hari raya kolektif. Kita tidak berpuasa, tapi Idul Fitri adalah yang paling bergairah. Kami juga meminta maaf. Ramadhan adalah ajang persatuan,” jelasnya.

Mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah prof. Amani Lubis, perwakilan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Dr. I Wayan Kantun Mandara dan perwakilan Theravada Sangha Bhante Dhammasubho Mahathera, berbagi konsep puasa.

Mengutip QS Al Baqarah : 183, Prof. Amani menjelaskan, konsep puasa bukan hanya diperuntukkan bagi umat Islam. Umat ​​Islam mengakui dan meyakini bahwa puasa adalah amalan yang dilakukan oleh seluruh umat manusia sejak keberadaan umat manusia hingga akhir zaman.

“Agama, tradisi, dan budaya punya tradisi puasa, bentuknya berbeda-beda, yang menyatukan kita semua adalah puasa,” kata Prof Amani.

Menurut I Wayan Kantun Mandara, puasa berasal dari kata upa dan vasa. Upa pindah. Vasa adalah nama Tuhan. “Puasa adalah seluruh aktivitas manusia yang selalu mendekatkan diri kepada Tuhan,” ujarnya.

Pada saat yang sama, Banthe Dhammasubho Sang Buddha menggambarkan puasa dalam bahasa Palu, bahasa Sang Buddha pada saat itu. Puasa berasal dari kata kegelapan Upo Sata atau Posa. Dalam bahasa Jawa disebut Poso.

“Puasanya bukan Arab, tapi Budha. Sunan Kaliaga memilih kata itu daripada shiam,” jelasnya seraya menyebut dirinya berpuasa sesuai ajaran Buddha hingga 40 tahun.

Pembukaan puasa bersama tokoh agama “Persatuan dalam rasa satu persaudaraan” ditutup dengan penyiraman pohon Butun (lambang perdamaian) bersama tujuh umat beragama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *