Titik Kumpul – Negara-negara Barat yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dikabarkan segera mewaspadai senjata nuklirnya seiring ancaman dari Rusia dan China yang semakin nyata.
Hal ini diumumkan oleh Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg. Menurut Stoltenberg, pihaknya saat ini berniat memiliki senjata nuklir.
Namun Stoltenberg tidak mengungkapkan berapa banyak negara NATO yang memiliki senjata nuklir. Baik yang akan digunakan maupun yang akan disimpan.
“Saya tidak akan menjelaskan rincian operasional mengenai berapa banyak hulu ledak nuklir yang harus aktif dan mana yang harus dipertahankan,” kata Stoltenberg.
“Tetapi kita perlu berkonsultasi mengenai hal ini. Ini yang kami lakukan,” ujarnya, seperti dilansir Titik Kumpul Military dari The Telegraph.
Stoltenberg juga menekankan bahwa NATO harus mengirimkan pesan langsung kepada musuh-musuhnya. Dalam hal ini, tujuan Rusia dan Tiongkok sudah jelas. Selain itu, Iran dan Korea Utara (Korut) juga masuk dalam perhitungan.
Menurut data Titik Kumpul Military dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), jika melihat jumlah senjata nuklir Amerika Serikat (AS) dan Rusia, kedua negara ini memiliki 90 persen dari total jumlah senjata nuklir. . Di dalam dunia.
“Rusia dan Amerika Serikat bersama-sama memiliki sekitar 90 persen dari seluruh senjata nuklir di dunia,” kata SIPRI dalam pernyataan yang dikutip Titik Kumpul Military dari Kyiv Post.
“Persenjataan negara-negara ini relatif stabil, namun pada tahun 2023 Rusia mengerahkan 36 hulu ledak lebih banyak dalam pasukan operasionalnya dibandingkan tahun sebelumnya,” bunyi pernyataan itu.
Hingga September 2020, militer Amerika Serikat memiliki total 3.750 senjata dengan hulu ledak nuklir. Jumlah ini menurun sebanyak 3.695 dibandingkan tahun 2019.
Sementara itu, data terkini kepemilikan senjata nuklir Amerika Serikat juga turun dibandingkan tahun 2017. Sebab saat itu AS hanya mempunyai 3.678 senjata nuklir.
“Transparansi yang lebih besar terhadap persediaan senjata nuklir suatu negara sangat penting bagi upaya nonproliferasi dan perlucutan senjata,” kata Departemen Luar Negeri AS dalam sebuah pernyataan.