Sejarah Houthi Yaman, Kelompok yang Dibombardir AS Gegara Bantu Palestina

VIVA – Houthi di Yaman kembali menjadi perhatian dunia setelah menjadi sasaran serangan roket Amerika Serikat (AS), Inggris, dan delapan negara Barat lainnya pada 11 hingga 12 Januari 2024.

Serangan itu menargetkan ibu kota Yaman, Sana’a, yang dikuasai oleh Houthi, serta pelabuhan Houthi di Hodeidah, Dhamar, dan markas besar kelompok tersebut di barat laut Saada.

Kementerian Pertahanan Inggris mengatakan serangan itu dilakukan di Bani di barat laut Yaman, yang diidentifikasi sebagai lokasi peluncuran rudal dan drone. Tujuan dari serangan ini adalah untuk melakukan serangan drone dan rudal yang dilakukan oleh kelompok Houthi, yang mendapat dukungan dari Iran, terhadap kapal kargo yang berlayar melalui Laut Merah.

Mengutip BBC Selasa 16 Januari 2024, kelompok Houthi dikabarkan telah menyerang beberapa kapal di Laut Merah dengan drone dan rudal sejak 3 Desember. Serangan ini terjadi tak lama setelah konflik antara Israel dan Hamas pada 7 Oktober.

Serangan terhadap kapal kargo telah menimbulkan kekhawatiran mengenai kenaikan harga bahan bakar dan gangguan terhadap rantai pasokan. Lebih dari 15 persen perdagangan dunia dilakukan melalui laut melalui Laut Merah, yang terhubung ke Laut Mediterania melalui Terusan Suez dan merupakan jalur pelayaran terpendek antara Eropa dan Asia. Siapakah kelompok Houthi?

Kelompok Houthi pertama kali muncul sebagai partai politik dan militer di Yaman utara pada tahun 1990an. Akarnya dapat ditelusuri kembali ke komunitas Zaidi, sebuah sekte Islam Syiah di negara tersebut.

Nama kelompok ini diambil dari nama pendirinya, Hussein Badreddin al-Houthi, yang berasal dari keluarga berpengaruh di Yaman utara. Al-Houthi mengkritik pemerintah dan kebijakan luar negeri Yaman, terutama yang berkaitan dengan Amerika Serikat dan Israel. Ia juga menentang penyebaran Wahhabisme yang didukung oleh Arab Saudi.

Pada awal tahun 1990-an, sebagai mantan anggota parlemen, al-Houthi menyuarakan kritiknya terhadap kegagalan kebijakan luar negeri di Yaman. Ia menggunakan tempat ibadah dan sekolah di Sa’dah, kota bersejarah di wilayah Yaman dan Zaidi, untuk menyebarkan ide dan ajarannya, termasuk pandangan anti-Amerika dan anti-Israel.

Konflik antara kelompok Houthi dan pemerintah Yaman dimulai pada tahun 2004, ketika pemerintah berusaha menekan gerakan tersebut. Hussein al-Houthi dibunuh pada bulan September 2004. Namun kematiannya membuatnya menjadi syahid di mata para pengikutnya, dan gerakan tersebut terus berkembang di bawah kepemimpinan saudaranya, Abdul-Malik al-Houthi.

Kelompok ini mendapat dukungan rakyat, terutama di Yaman utara, karena kekecewaan mereka terhadap pemerintah yang korup. Ketika kekuatan mereka tumbuh, Houthi menguasai wilayah yang luas pada tahun 2014, termasuk Sana’a, ibu kota Yaman, menandai perubahan besar dalam dinamika politik Yaman (International Journal of Middle East Studies).

Langkah tersebut memperkuat posisi mereka sebagai pemain kunci dalam konflik di Yaman yang melibatkan beberapa faksi, termasuk koalisi militer yang dipimpin Arab Saudi.

Seperti disebutkan di atas, kelompok Houthi memiliki akar yang kuat dalam tradisi Syiah Zaidi, sebuah cabang Islam yang berbeda dan kuat di Yaman. Latar belakang dan ideologi Zaidi berperan penting dalam memahami dinamika kelompok Houthi.

Di Yaman, Zaidi selalu menjadi bagian penting dalam masyarakat dan politik, terutama di wilayah utara. Mereka mempunyai sejarah panjang dalam mendirikan negara dan dinasti di wilayah tersebut, dan ini memberi mereka posisi unik dalam sejarah Yaman. Budaya Syiah Zaidi di Yaman berbeda dengan budaya Syiah di tempat lain, dengan penekanan pada kebebasan dan pemberontakan melawan penguasa yang tidak adil.

Meski berakar pada budaya Zaidi, kelompok ini telah mengembangkan cara berpikir dan berperilaku yang unik. Mereka menggabungkan unsur-unsur Zaidi tradisional dengan pandangan modern mengenai isu-isu seperti nasionalisme, anti-imperialisme dan penolakan terhadap intervensi asing. Hal ini menciptakan metode perlawanan yang tidak hanya didasarkan pada identitas, tetapi juga merespons kondisi politik dan sosial Yaman kontemporer

Dinamika hubungan antara kelompok Houthi dan pemerintah Yaman pada awalnya mencerminkan situasi besar antara pemerintah pusat dan komunitas Zaidi di Yaman utara. Pada tahap pertama, hubungan tersebut merupakan tanda konflik dan ketidakpercayaan, meski belum mencapai tingkat permusuhan penuh. Pada awal tahun 2000-an, hubungan mulai memburuk.

Beberapa permasalahan utama yang menjadi penyebab konflik antara lain kebijakan pemerintah Yaman yang dinilai diskriminatif terhadap komunitas Zaidi, terutama di bidang ekonomi dan politik. Pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Ali Abdullah Saleh, yang juga berasal dari latar belakang, dituduh mengabaikan kebutuhan dan hak komunitas Zaidi, sekaligus memperkuat hubungan dengan kelompok Sunni dan menerima dukungan dari negara-negara Teluk, khususnya Arab Saudi (Sarah Phillips, “Yaman dan Politik Krisis Permanen”, 2012).

Meningkatnya pengaruh Wahhabisme, yang didukung oleh Arab Saudi, di Yaman utara juga menimbulkan konflik. Wahhabisme, dengan ajaran Sunni konservatifnya, dipandang sebagai ancaman terhadap budaya yang lebih moderat dan inklusif. Hal ini memperdalam ketidakpuasan di kalangan komunitas Zaidi dan memperkuat dukungan kelompok Houthi, yang menghadapi penyebaran Wahhabisme (Fred Halliday, “Arabia Without Sultans,” 2002).

Konflik bersenjata pertama dimulai pada tahun 2004, ketika pemerintah Yaman mencoba menangkap Hussein Badreddin al-Houthi. Pemerintah mengatakan al-Houthi menyebabkan kerusuhan dan pemberontakan. Hal ini menandai dimulainya serangkaian baku tembak antara kelompok Houthi dan pemerintah Yaman.

Pemerintah Yaman menuduh Houthi menggulingkan pemerintah dan mendirikan negara Syiah di Yaman utara, tuduhan yang dibantah oleh Houthi.

Keterlibatan kelompok Houthi dalam politik, terutama setelah invasi Irak tahun 2003 dan konflik Israel-Palestina, juga berkontribusi terhadap meningkatnya ketegangan. Gerakan Houthi yang sangat menentang agenda pro-Barat dan intervensi asing pemerintah Yaman, khususnya Amerika Serikat dan Israel, mendapat dukungan kuat dari beberapa kelompok di Yaman yang merasa tergeser oleh pemerintah pusat (Marieke Brandt, ‘Nations and Politics di Yaman: Sejarah Konflik Houthi’, 2017).

Faktor lain yang berkontribusi terhadap konflik ini adalah ketidakpuasan ekonomi dan sosial di Yaman utara. Kurangnya sumber daya, isolasi politik dan ketidakadilan sosial dipandang sebagai kekuatan pendorong di balik revolusi Houthi. Kelompok ini mendapat dukungan dari mereka yang kecewa terhadap pemerintah dan menginginkan perubahan politik dan ekonomi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *