Titik Kumpul Lifestyle – Negara-negara Asia Tenggara dan Selatan sedang menghadapi panas ekstrem. Awal pekan ini, India melaporkan suhu tinggi mencapai 42 derajat Celcius, 5,5 derajat di atas suhu normal. Suhu ini juga diperkirakan akan dipertahankan dalam beberapa hari mendatang.
Tak hanya di India, cuaca panas juga melanda Filipina. Saking panasnya cuaca, Filipina memutuskan menutup lebih dari 47.000 sekolah negeri selama dua hari pada awal pekan ini akibat cuaca ekstrem yang mencapai 50 derajat. Scroll untuk informasi lengkapnya, yuk!
Sedangkan di Thailand mencapai 40 derajat, bahkan di provinsi utara Thailand suhunya mencapai 44,1 derajat. Pemerintah Thailand bahkan mengumumkan setidaknya 30 orang meninggal tahun ini akibat gelombang panas.
Bahkan pemerintah kota di Bangkok telah mengeluarkan peringatan panas ekstrem karena indeks panas diperkirakan akan naik di atas 52 derajat.
Sementara di Kamboja, Myanmar, dan Vietnam, suhu tinggi diperkirakan bisa melebihi 40 derajat Celcius dalam beberapa hari mendatang.
Sebaliknya, di Indonesia sendiri, Wakil Meteorologi BMKG Guswanto mengatakan, cuaca panas yang terjadi belakangan ini disebabkan posisi matahari yang tidak jauh dari garis khatulistiwa yang saat ini berada di belahan bumi utara (BBU).
Guswanto mengatakan fenomena yang terjadi saat ini bukanlah fenomena gelombang panas. Sebab, jika dilihat dari indikator statistik pengamatan suhu, fenomena tersebut tidak termasuk dalam kategori ini. Lalu apa penyebab panasnya suhu di Asia?
Direktur Singapore Earth Observatory, Profesor Benjamin Horton menjelaskan, kenaikan suhu di berbagai wilayah Asia disebabkan oleh perubahan iklim dan pola cuaca El Niño yang menghangatkan air laut yang biasanya terjadi setiap 2-7 tahun sekali.
Benjamin mengatakan, penyebab utama terjadinya cuaca ekstrem ini juga karena campur tangan manusia.
“Setiap tahun ketika kita memasuki bulan Mei dan Juni, jika kita berada dalam fase El Niño, perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia akan memastikan bahwa suhu selalu mendekati rekor tertinggi,” ujarnya, dilansir Channel News Asia, Kamis, 2 Agustus Mei 2024.
Benjamin juga mengungkapkan bahwa komunitas pemerhati iklim telah menunjukkan hal ini selama bertahun-tahun dan terus mencari cara untuk memperbaikinya.
“Apa yang perlu dilakukan sekarang adalah kita membutuhkan pemerintah (dan) perusahaan swasta untuk berpikir serius dan mendesak mengenai masalah ini untuk mencoba menjaga keselamatan masyarakat,” katanya.