Jakarta – Sepakbola Indonesia masih jauh dari kata ideal. Itulah yang diharapkan dari diskusi Pers PSSI bertema ‘Merefleksikan 94 Tahun PSSI, Mau Kemana?’ di GBK Arena, Sabtu 11.05.2024.
Rapat yang didukung PSSI itu juga dihadiri PT Liga Indonesia Baru, ASDP, Nendia Primarasa, DAMRI, APPI dan RS Mitra Keluarga, Anggota Dewan Pengurus PSSI Aria Sinulingga. Dari penuturan pria yang menjabat Direktur Eksekutif PSSI Provinsi Sumut itu, terlihat jelas sejauh mana sepak bola Indonesia sejauh ini.
Dari generasi muda hingga konservatif, hanya sedikit orang di Sumatera Utara yang berhasil lolos dari pilihan negara tersebut. Masalah ini terjadi karena hanya ada beberapa pertandingan yang cocok dan memberikan pengalaman.
Basis wasitnya ada di daerah. Federasi tidak punya wasit. Wasitnya ada di Asprov dan Ascot,” kata Aria Sinulingga.
Namun kenyataan yang dihadapi Arya sangat memprihatinkan. Saat Indra Syafri didatangkan ke Sumut untuk memantau kepiawaian pemain U-20, dari 440 orang yang melamar, hanya satu yang lolos. Yang lebih penting lagi, di U-17, tidak ada satu pun orang di atas 750 yang terdaftar.
“Kemudian saya pertama kali ke Asprov Sumut, ternyata daerah ini hanya mengandalkan kompetisi dari Federasi yaitu Liga 3 dan Soeratin. Tidak ada orang lain. Satu-satunya (variasi) adalah Jawa Barat dan Jawa Timur. Jawa Tak heran jika banyak klub divisi satu di kedua wilayah tersebut, karena persaingan di wilayah lain tidak kompetitif.
Lebih lanjut Aria menjelaskan situasi sepak bola di Sumut. 13 klub bersaing di Liga 3. Namun, mereka semua hanya bermain delapan kali untuk memperebutkan tiket ke tingkat nasional. Sedangkan untuk yang terbaik, para pemain muda harus memainkan 30 pertandingan dalam setahun.
Menurut Ari, dampak minimnya persaingan ini juga berdampak pada infrastruktur. Stadion tersebut tidak digunakan untuk menggelar pertandingan, kemudian fungsinya diubah menjadi pasar malam.
Jumlah guru berlisensi masih sangat sedikit di Sumatera Utara, meskipun terdapat banyak sekolah sepak bola. Aria mengungkapkan, dari 700 SSB yang ada, kurang dari 100 guru yang memiliki izin nasional D.
PSSI membuat kartu biru untuk sepak bola wanita Indonesia. Mereka bertujuan untuk mencapai Piala Dunia 2035 dan memenangkan Piala Asia 2038.
Tak sedikit pihak yang meragukan misi PSSI. Alasannya jelas, karena beberapa tahun terakhir sepak bola wanita Indonesia tidak ada persaingannya. Pemain yang ada didatangkan oleh klub lokal, bukan profesional seperti yang ada di Liga 1.
Hampir tidak ada klub Liga 1 yang berdedikasi pada kiprah sepak bola wanita karena tidak ada dana untuk membangun tim. Sekretaris Jenderal Persatuan Sepak Bola Wanita Seluruh Indonesia (ASBVI) Souraiia Farina menjelaskan, saat ini terdapat 171 klub sepak bola putri homogen, dan 140 di antaranya sedang berusaha melengkapi izin klubnya.
Jika PSSI ingin bekerja keras mewujudkan kertas biru yang telah dibuat, maka organisasi-organisasi tersebut harus didorong untuk menjadi ahli. Tujuan lolos ke Piala Dunia 2035 dan memenangkan Piala Asia 20238 harusnya sangat menyakitkan dalam formasi pemain berusia 15 dan 17 tahun.
“Klub gabungan ada 171, jangan disia-siakan. Ada 49 yang fokus dan bukan liga 1 putra, melainkan klub gabungan putri yang ada U-13 dan U-15. Masing-masing grup ada 20 pemain,” kata Farina. .
“Sepak bola wanita bukan hanya timnas, tapi juga kompetisi dan pengembangan. Kalau kita bicara perempuan di sepak bola, di sini banyak perempuan dan itu bagus. Kami berharap ke depan akan lebih banyak lagi dan kompetisi terus berlanjut. ,” dia menambahkan. .
Profesionalisme klub sepak bola tanah air menjadi hal penting, termasuk di Liga 1. Setiap tahun hanya sedikit yang bisa memenuhi persyaratan lisensi AFC. Namun PSSI selalu memberikan pengaruh dalam hal ini dan memperbolehkan organisasi yang tidak memenuhi syarat untuk bersaing.
Koordinator sepak bola Dek Glenniza sependapat dengan Farina tentang perlunya PSSI mendukung klub-klub Indonesia menjadi profesional. Australia dapat menjadi contoh kemajuan mereka dalam hal lisensi AFC dan FIFA.