Titik Kumpul, Jakarta – Resistensi antibiotik merupakan masalah kesehatan yang serius. Faktanya, sebuah penelitian memperkirakan bahwa 39 juta orang akan meninggal karena resistensi antibiotik pada tahun 2050.
Resistensi antibiotik adalah suatu kondisi dimana antibiotik tidak mampu membunuh bakteri, virus, jamur dan parasit. Resistensi bakteri terjadi ketika bakteri menjadi kebal terhadap antibiotik yang awalnya efektif mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri tersebut.
“Mengapa begitu berbahaya? Kami menyebut resistensi antibiotik ini sebagai pandemi diam-diam. Penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2050, 39 juta orang di dunia akan meninggal karena resistensi antibiotik. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan COVID-19, namun bukan kita.
Selain itu, ketika seseorang menjadi kebal terhadap antibiotik, pengobatan bisa menjadi sulit. Bahkan pada beberapa kasus, orang yang resisten terhadap antibiotik diobati dengan kombinasi kedua antibiotik tersebut.
“Misalnya pasien ada infeksi darah, maka dokter spesialis mikrobiologi klinis akan berkonsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam untuk memeriksa sampel darahnya. Kita akan periksa di laboratorium dan menunggu bakterinya. Nanti kita periksa dengan berbagai obat. Jika datanya elastis, kita akan melihat mana yang lebih mungkin “tidak elastis meskipun elastis”. Atau dua antibiotik bisa digunakan bersamaan.
Tak hanya itu, biaya pengobatan pun semakin meningkat. Parahnya, mereka yang resisten terhadap antibiotik mempunyai risiko kematian lebih tinggi.
“Pada dasarnya obatnya jauh lebih mahal, pasien dirawat di rumah sakit lebih lama, pengobatannya lebih lama, dan kemungkinan kematiannya lebih tinggi. Sering terjadi sehingga parah,” ujarnya. katanya
Di sisi lain, penyakit ini dikaitkan dengan gejala pada orang yang menjadi resisten terhadap antibiotik. Aiman menjelaskan, gejalanya sulit dirasakan pasien.
“Bakteri yang resistan terhadap obat ini menginfeksi manusia dan akhirnya menimbulkan gejala. Jenis infeksinya banyak dan bisa terjadi di otak, paru-paru, saluran pencernaan, kulit, tergantung jenis bakterinya. Akibat pengobatan yang tidak bijaksana terhadap penggunaan antibiotik disebabkan karena “residu ini tidak bisa kita rasakan. Tapi sewaktu-waktu bisa menulari kita dan bisa menular ke orang lain,” ujarnya.