JAKARTA, WIWA – Pimpinan Pondok Pesantren Tajul Alawiin Habib Bahr bin Smith pun buka suara terhadap gerakan “Siaga Darurat” yang marak di media sosial beberapa waktu lalu.
Sekadar informasi, pergerakan tersebut ditandai dengan tersebarnya gambar burung elang berlatar belakang biru dengan tulisan “Urgent Alert” di atasnya.
Gerakan siaga darurat muncul setelah DPR dan pemerintah membatalkan atau “mengabaikan” putusan Mahkamah Konstitusi (CJ) tentang syarat ambang batas pencalonan kepala daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi tentu saja menjadi angin segar bagi pencalonan gubernur Jakarta, yang di masa lalu telah menimbulkan kontroversi karena partai-partai besar telah membentuk “koalisi raksasa” dan membeli semua calon gubernur.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini akan memperbolehkan partai politik yang mempunyai modal suara lebih kecil untuk mengajukan calon gubernur, sehingga membuka kemungkinan adanya pasangan calon baru untuk ikut bersaing di Jakarta.
Namun sehari setelah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pemerintah dan DPR langsung menggelar rapat perubahan undang-undang pilkada sehingga memicu gelombang protes dari berbagai lapisan masyarakat.
“Kemarin mahasiswa turun, semua turun, Anda merasakannya, dari awal saya dan Habib Rizik Shohab sudah bilang, betapa tidak berakalnya rezim ini, betapa tidak adilnya mereka, kezaliman mereka, Anda merasakannya kemarin,” kata Bahar. YouTube pribadinya dilihat pada Senin, 2 September 2024
“Peringatan darurat” yang diberikan Bahar sejak lama berarti dia harus mendekam di penjara dan dicap sebagai seorang radikal. Ia mengatakan, semua itu merupakan bentuk perlawanan terhadap keputusan pemerintah yang justru tidak baik bagi rakyat.
“Di mana pun saya di penjara tahun lalu, Habib Rizic di penjara, mereka menyebut kami radikal, tidak toleran, mereka berbicara dengan berbagai cara, sekarang Anda merasakan apa yang kami perjuangkan untuk Anda. Kami berjuang untuk negara dan rakyat,” dia menekankan.
Bahar menyayangkan, sejak dulu hingga saat ini pemerintah jarang mengeluarkan peraturan yang mengutamakan kepentingan rakyat. Ia menilai banyak peraturan yang dibuat hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
“Pejabat sekarang ambil apa saja sesukanya, kalau ada manfaatnya, ambil saja. Hingga kemarin, jika Mahkamah Konstitusi memenangkan mereka, mereka akan menerimanya. Namun jika putusan MK tidak menguntungkan mereka, tentu seluruh anggota DPR ingin merevisinya,” tutupnya.