Soleh Solihun Khawatir RUU Penyiaran Ancam Kebebasan Berkarya Para Konten Kreator

JAKARTA – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendorong revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran bersama pemangku kepentingan penyiaran.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berharap revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran akan mengatur media baru, termasuk memperjelas definisi media.

Hal itu diungkapkan Ketua KPI Pusat Ubaidillah dalam laman resmi KPU, Selasa, 2 April, di sela-sela seminar nasional “Reposisi Media Baru dalam Wacana Revisi UU Penyiaran” di Senen, Jakarta.

“Apakah itu media sosial, media digital, media baru atau apa? Supaya jelas definisinya. Jangan sampai disahkan, ada lembaga, KPI atau lainnya yang harus memantau dan mengaturnya. Pekerjaan sudah dilimpahkan, tidak lebih dari yang menjadi haknya,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, komedian sekaligus mantan jurnalis Soleh Solihoon angkat bicara di akun X pribadinya dengan mengatakan bahwa undang-undang penyiaran tidak hanya mengancam kebebasan pers, tetapi juga kebebasan pembuat konten.

“UU penyiaran ini sebenarnya tidak hanya mengancam kebebasan pers, tapi juga kebebasan bertindak kita yang bukan anggota pers,” kata Soleh Solihun seperti dikutip akun X @solehsolihun pada Kamis, 30 Mei . dikatakan

Menurut Soleh Solihun, undang-undang penyiaran ini tidak hanya mengatur perusahaan media, tapi juga saluran YouTube.

“Soalnya YouTube lah yang disebut-sebut akan diatur dalam RUU tersebut. Saat ini, saluran-saluran YouTube tidak hanya milik perusahaan, tetapi juga milik banyak individu,” lanjutnya.

Sebaliknya, Dewan Pers menolak rancangan undang-undang (RUU) penyiaran. Dewan Pers menilai ada beberapa unsur mendasar dalam RUU Penyiaran yang bertentangan dengan kebebasan pers.

Menurut dia, undang-undang penyiaran memuat pasal yang menghalangi media melakukan investigasi dan tidak menjadikan pers bebas atau independen.

“Karena dengan UU 40 kita tidak terlalu mengenal sensor, pelarangan, dan pembatasan penyiaran pada standar jurnalisme. Oleh karena itu, penyiaran media investigasi merupakan salah satu metode ampuh dalam kerja jurnalistik profesional,” kata Ninik Rahyu, mengutip VIVA.co.id.

Sebagaimana tertuang dalam Pasal 50B(2)(c) Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang melarang penyiaran eksklusif jurnalisme investigatif.

Hal ini termasuk mengatur pembuat konten yang mendistribusikan konten melalui YouTube, TikTok, atau media berbasis konten buatan pengguna (UGC) lainnya, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 34F(2)(e).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *