Sosok Atlet Muslim Pertama yang Raih Medali Emas di Olimpiade

VIVA – Olimpiade adalah acara olahraga internasional empat tahunan di mana ribuan atlet bersaing dalam berbagai acara olahraga.

Olimpiade adalah olahraga terbesar dan paling bergengsi di dunia, dengan lebih dari 200 negara berpartisipasi. Terdekat, Olimpiade akan diadakan di Paris, Prancis mulai 26 Juli hingga 11 Agustus 2024. Ada 329 pertandingan di 32 cabang olahraga.

Olimpiade pertama kali diadakan pada tahun 1896 di Athena, Yunani. Dalam perjalanannya, peristiwa tersebut melahirkan sebuah momen yang tak terlupakan. Salah satunya adalah Nawal El Moutawakel, atlet asal Maroko.

Nawal El Moutawakel, 22, mengejutkan dunia dan memberi Maroko medali emas Olimpiade pertamanya, tetapi juga mematahkan banyak spekulasi.

Dia secara luas dianggap sebagai atlet Muslim pertama yang memenangkan medali emas Olimpiade. Dia memenangkan lari gawang 400 m di Olimpiade 1984 di Los Angeles, mencatatkan namanya dalam sejarah.

Dia juga wanita Muslim pertama yang terpilih menjadi anggota Komite Olimpiade Internasional dan menerima Laureus Achievement Award pada tahun 2010.

Hingga saat itu, banyak yang salah paham bahwa perempuan Arab dan Muslim tidak bisa mencapai prestasi Naval.

Setelah pensiun sebagai atlet. Moutawakel diangkat menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga oleh Raja Mohammed VI dari negara asalnya, Maroko, di mana ia memperluas parameter perempuan melalui olahraga.

“Olahraga telah memberi saya begitu banyak sehingga apa yang saya berikan tidak akan cukup,” jelasnya kepada The Daily Telegraph.

Salah satu daya tarik utama El Moutawakel adalah proyek Courir pour La Vie, yang dijalankan sebagai proyek percontohan di Sekolah Menengah Imam Mouslim di Ben Abid, sebuah desa berdebu 20 mil di luar Casablanca.

Program inovatif ini mempromosikan olahraga di kalangan remaja putri yang tinggal di daerah pedesaan. Tujuannya adalah untuk menggunakan olahraga sebagai cara untuk meningkatkan kepercayaan diri dan kemandirian anak perempuan sehingga mereka memiliki sumber daya untuk melanjutkan pendidikan, dibandingkan mengikuti pola tradisional putus sekolah pada usia remaja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *