Kabupaten Bogor, Titik Kumpul – Pada Senin, 26 Agustus 2024, pembongkaran dan penataan kios di sekitar Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat memasuki tahap kedua. Pemerintah Daerah Bogor yang mencanangkan inisiatif tersebut bertujuan untuk menata kembali kawasan Puncak agar lebih tertib dan bersih.
Namun, langkah tersebut mendapat tentangan keras dari para pemilik usaha yang mata pencahariannya telah lama bergantung pada lokasi tersebut.
Para pedagang yang mengetahui tokonya akan dibongkar, sudah mempersiapkan kedatangan petugas sejak pagi. Saat tim Satpol PP dan petugas lainnya tiba di lokasi untuk menjalankan tugasnya, suasana langsung mencekam.
Para pedagang yang merasa terancam dengan kebijakan ini melakukan protes terhadap petugas. Mereka melakukan segalanya untuk melindungi pos perdagangan mereka, yang tidak hanya menjadi mata pencaharian mereka, tetapi juga rumah dan sumber penghidupan mereka, yang telah menjadi komitmen mereka selama bertahun-tahun.
Suasana semakin haru ketika para pedagang yang berada di tengah kerumunan mulai berteriak-teriak. Dengan segala cara, mereka meminta pihak berwenang untuk menghancurkan toko-toko, berharap ampun. Bahkan ada di antara mereka yang terlihat berlutut masih memohon-mohon hingga menitikkan air mata.
Momen yang sangat menyedihkan adalah ketika ibu Masrouh yang sudah lama tinggal di tempat tersebut melihat tempat tinggalnya yang juga merupakan tempat tinggalnya hancur. Masrouh tidak hanya kehilangan tokonya, tapi juga rumah yang telah menjadi bagian hidupnya sejak lahir.
Dengan pedih Masrouh mengatakan, tempat ini bukan hanya sekedar kawasan bisnis baginya, tapi juga tempat yang memberikan keamanan dan kenyamanan baginya. “Saya hanya berjualan kopi dan pasta, tidak mencari rejeki. Saya hanya perlu hidup. Di sinilah saya tinggal, tempat saya bisa berjualan,” jelasnya. Air matanya masih mengalir, jelasnya.
Bukan hanya Masroha yang menolak pindah ke tempat peristirahatan Gongmas yang disediakan pemerintah kota sebagai alternatif. Banyak pula pedagang lain yang menolak karena merasa lokasi baru tersebut tidak menjamin keberlangsungan usahanya. Mereka khawatir pelanggan setia yang mereka bangun selama bertahun-tahun tidak mau mengikuti mereka ke lokasi baru yang mereka anggap kurang strategis.
Masrouh berkata: “Saya harap saya tidak mau ke kamar kecil karena tempatnya tidak terjamin. Saya sudah punya banyak pelanggan. Hanya sibuk di hari Sabtu dan Minggu.” , menambahkan, lokasi resor hanya akan mendatangkan pelanggan di akhir pekan, yang tidak cukup untuk kesehariannya.
Reaksi warganet
Pengecualian ini pun menjadi sorotan warganet di dunia maya. Menariknya, mayoritas warganet justru mendukung langkah pembubaran Satpol PP tersebut. Sebab, pedagang dianggap sebagai pemilik ilegal dan kerap mematok harga tinggi kepada pengunjung.
“Maaf, kenapa mereka selalu bilang kami ini orang kecil.. Kami butuh uang untuk hidup. Jadi kamu pikir orang lain tidak butuh uang? Kalaupun tempatnya ilegal, itu wajar. ” telah dihilangkan. “Sebenarnya kami membayar harga yang tidak masuk akal” – tulis seorang netizen.
“Kamu pikir 15.000 es teh akan membuatmu kaya?” Lanjutnya: “Biasanya hanya 3 ribu.” “Tamannya aja ya tuhan,” sambung Bill . “Kami tidak mencari rejeki, tapi 30.000 cangkir.”
– Kali ini saya bersama Pol PP. “Kami tidak mencari kekayaan, kami membeli makanan untuk diri kami sendiri, tetapi harganya terlalu tinggi… dompet kami mengering.” “Berdagang di tanah publik, mereka menjadi marah dan marah ketika diusir.” “Harganya mahal, bahkan mungkin lebih mahal lagi kalau sewa stand. Ngeri kalau sampai puncak.”
“Iya harganya mahal banget, seperti yang saya lihat dari banyak orang yang tahu kalau es teh saja harganya bisa sampai 20k, bahkan ada yang bilang 30k, itu tetap es teh dan tidak lebih, jajanan mahal mereka diusir.”