Jakarta – Setara Institute baru-baru ini merilis Indeks Kota Toleran (IKT) 2023 yang bertujuan untuk menilai tingkat toleransi dan intoleransi di berbagai kota di Indonesia. TIK ini dirancang untuk memberikan gambaran pencapaian dewan kota dalam mengelola kohesi, toleransi, pemahaman dan partisipasi nasional.
SETARA Institute menggunakan empat variabel dan delapan indikator untuk mengevaluasi 94 kota di Indonesia dalam laporan studinya. Hasilnya menunjukkan bahwa Singkawang di Kalimantan Barat menempati posisi teratas sebagai kota paling toleran di Indonesia dengan 6.500 poin pada skala 1-7.
Sebaliknya, Depok dan Cilegon berada di peringkat terbawah sebagai kota paling intoleransi di Indonesia karena keduanya mendapat nilai terendah.
Menurut Halili Hasan, Direktur Jenderal Setara Institute, banyak daerah yang masih berada di posisi terbawah karena masih memiliki permasalahan kepemimpinan yang serius dalam membangun ekosistem toleransi.
Dijelaskannya, ada tiga aspek kepemimpinan dalam toleransi yang penting, yaitu kepemimpinan politik, kepemimpinan birokrasi, dan kepemimpinan sosial. Peringkat Kota Intoleransi di Indonesia Sabang, Aceh (Skor: 4,457) Bandar Lampung, Lampung (Skor: 4,450) Palembang, Sumatera Selatan (Skor: 4,433) Pekanbaru, Riau (Skor: 4,420) Mataram, Nusa Tenggara Barat: 4,387 Lhokseumawe, Aceh (Skor: 4.377) Padang, Sumatera Barat (Skor: 4.297) Banda Aceh, Aceh (Skor: 4.260) Cilegon, Banten (Posting: 4.193) Depok, Jawa Barat (Skor: 4. Cileg Terendah untuk Depo0po) Reas. Lokasi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan tahun lalu, tampak bahwa pengelolaan politik, birokrasi, dan sosial di 10 kota yang berada di peringkat 10 terbawah dengan tingkat toleransi rendah tidak berfungsi dengan baik.
Misalnya, kepala daerah dinilai tidak memiliki kebijakan dan tidak mengalokasikan anggaran untuk mendukung terciptanya lingkungan toleransi di daerahnya. Ia pun mencontohkan Cilegon yang saat ini belum memiliki satu gereja pun. Padahal, Cilegon merupakan bagian dari Indonesia yang menjaga keberagaman suku, budaya, dan agama. Bagaimana pekerjaan diukur?
Dalam laporan ini, Setara Institute mencakup 94 dari total 98 kota di Indonesia. Empat kota dihilangkan sebagai kota administratif DKI Jakarta karena digabung menjadi satu kota DKI Jakarta.
Evaluasi dilakukan dengan mengevaluasi empat variabel dan delapan indikator. Detailnya dapat dilihat di sini: Peraturan DPRD: rencana pembangunan berupa RPJMD dan produk pendukung hukum lainnya; dan apakah ini merupakan kebijakan yang diskriminatif. Regulasi sosial: Insiden intoleransi; dan dinamika masyarakat sipil mengenai intoleransi. Tindakan Pemerintah: Pernyataan pejabat penting mengenai kasus intoleransi; dan tindakan nyata sehubungan dengan peristiwa. Demografi sosio-religius: Heterogenitas agama dalam masyarakat; dan inklusi sosial keagamaan.
Sumber data penelitian diperoleh dari dokumen resmi pemerintah kota, data Badan Pusat Statistik (BPS), data Komnas Perempuan, data Setara Institute dan referensi media terpilih. Pengumpulan data juga dilakukan melalui survei penilaian mandiri terhadap seluruh pejabat kota.