Gak Boleh Dipendam, Rasa Marah Bisa Memicu Gaya Hidup Tidak Sehat

VIVA Lifestyle – Perasaan marah atau benci terhadap seseorang seringkali muncul bersamaan dengan perasaan sakit yang terpendam. Pada tahap ini, menjadi sulit untuk memaafkan karena emosi yang membara dalam diri orang tersebut.

Pada dasarnya, marah merupakan keadaan emosi dasar yang dimiliki setiap orang. Ketika kemarahan ditekan dalam jangka waktu lama, otak melepaskan hormon stres kortisol.

Padahal, marah atau menyakiti orang lain juga tidak baik bagi kesehatan fisik dan mental Anda. Yuk lanjutkan membaca artikel selengkapnya di bawah ini.

Selain itu, orang yang menyimpan amarah sering kali melampiaskan hal lain untuk menenangkan diri.

Beruntunglah anda jika anda menyalurkan pikiran dan perasaan anda pada hal-hal yang positif, namun jika anda menyalurkannya pada hal-hal yang negatif seperti meminum alkohol, makan yang tidak teratur atau merokok dan menggunakan narkoba, justru akan merugikan anda.

“Setiap orang memiliki keterampilan manajemen stres dan sistem pendukung. Seseorang dapat menangani stres, kebencian, dan kemarahan yang berlebihan,” psikiater Dr.

“Jika dibiarkan, maka akan menjadi lebih kuat dan menemukan cara untuk mengatasi stres. Jalur langsung yang dipilih biasanya adalah alkohol, obat-obatan terlarang, merokok, dan junk food,” tambahnya.

Parahnya, ketika seseorang tidak bisa mengendalikan emosi atau amarahnya, ia akan melakukan hal-hal yang menyakiti dirinya, seperti memotong tangan, bunuh diri, atau bahkan memutuskan untuk mengakhiri hidup.

“Menonton pornografi dan terlalu sering melihat-lihat juga merugikan diri sendiri. Ketika Anda melakukan ini, dopamin dilepaskan di otak, yang memberikan ketenangan instan. Tapi itu hanya sementara dan tidak menyelesaikan masalah yang mendasarinya,” kata Dr. jelas Lahergo.

Setelah melewati fase ini dan merasa tenang, orang yang membicarakan hal-hal negatif mungkin akan merasakan rasa bersalah yang mendalam karena telah disakiti.

Oleh karena itu, pakar kesehatan mental ini sangat menyarankan agar masyarakat benar-benar mengenal dirinya agar mampu mengendalikan emosi yang dirasakan.

“Kemudian belajarlah mengelola stres dan memiliki sistem pendukung dari lingkungan sekitar,” imbuhnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *